Kewajiban Menghormati Orang Tua
Kewajiban Menghormati Orang Tua
Berbuat
baik kepada kedua orang tua adalah ajaran yang selalu Allah pesankan tidak
hanya kepada Rasulullah SAW, melainkan juga kepada nabi-nabi terdahulu. Dalam
surat Al Baqarah: 83 Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil
janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan
berbuat baiklah kepada ibu bapak…”. Dalam An Nisa’ 36: Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada ibu-bapa…” Dalam Al An’am:151: Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap ibu bapa…”.
Ketika
menafsirkan ayat yang kita bahas di atas, Imam Az Zamakhsyary dalam karya
monumentalnya Al Kasysyaf menyingkap rahasia mengapa Allah menyebutkan secara
khsusus gambaran capeknya seorang ibu saat-saat mengandung sang anak “hamalathu
ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin”. Di sini kata Az Zamakhsyary: mengandung suatu
penekanan agar sang anak kelak benar-benar menghormati ibunya. Bahwa hak
seorang ibu kepada anaknya adalah sangat agung. Rasulullah SAW ketika ditanya
oleh salah seorang sahabat mengenai kepada siapa ia harus berbuat baik, ia menjawab:
“ibumu”, “ibumu”, “ibumu”, lalu “bapakmu”. (Al Kasysyaf, Az Zamakhsyary: vol:
3, h. 494-495)
Cinta
dan pengorbanan seorang ibu memang sangat tergambar dalam ungkapan: “hamalathu
ummuhuu wahnan alaa wahnin”, tetapi seringkali sang anak tidak merasakannya.
Karena waktu itu ia masih dalam kandungan dan kalaupun telah lahir selama dua
tahun disusui, anak belum bisa menangkap kesan secara sempurna. Karena itulah
Allah sebutkan dalam ayat di atas supaya nampak betapa besarnya kasih sayang
sang ibu. Dan bahkan semua itu tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan
perjuangan sang ayah dalam mencari nafkah.
Manusia
memang cendrung berterimaksih kepada orang yang bantuannya nampak di depan
matanya dan ia rasakan secara langsung. Perjuangan seorang ayah ketika mencari
nafkah dan membiayai kebutuhan rumah tangga, memang sangat nampak dan terasa
secara langsung bagi sang anak. Maka sebelum persepsi negatif muncul, bahwa
sang ibu tidak berbuat apa-apa, dan supaya sikap merendahkan peranan ibu tidak
terjadi Allah segera mengingatkan akan pengorbanan yang sangat agung ini. Dan
hebatnya lagi, peringatan ini datangnya langsung dari Allah. Suatu indikasi
yang menggambarkan betapa besar jasa kedua orang tua, terutama sang ibu, dan
bahwa menghormati dan mengabdi kepada keduanya bukan hanya suatu sikap yang
sangat penting dan mendasar melainkan suatu kewajiban.
Lebih
dari itu Allah tidak bosan-bosan mengulang-ngulang pesan keharusan berbuat baik
kepada kedua orang tua di berbagai kesempatan dalam Al Qur’an. Mengapa? Mari
kita lihat bahwa ternyata kecintaan dan tanggung jawab orang tua kepada anak
adalah fitrah yang Allah tanamkan dalam diri setiap orang tua. Makanya, capek
bagaimanapun orang tua tetap berjuang untuk mengandung, menyusui dan
membesarkan anaknya. Bahkan mereka seringkali merasa senang sekalipun harus
mengorbankan waktu tidurnya di tengah malam saat enak-enaknya tidur. Ini adalah
sunnatullah yang sudah Allah tetapkan demi berlangsungnya kehidupan di bumi.
Tetapi kecintaan dan ketaatan seorang anak kepada orang tua, butuh kesadaran.
Untuk mencapai kesadaran ini butuh peringatan yang terus-menerus bahwa
mentatati orang tua adalah suatu kewajiaban.
Dari
sini Nampak rahasia mengapa sampai sebegitu rupa Allah menggambarkan getir
perjuangan seorang ibu terhadap anaknya. Itu tidak ada lain, agar anak
tersentuh lalu tersadar, dan seteleh itu tergerakkan untuk menjalankan
kewajibannya kepada kedua orangtuanya dengan sungguh-sungguh.
Sebagai
suatu kewajiban maka tentu tidak ada perbedaan fiqih dalam hal ini. Semua ulama
bersepakat akan wajibnya mengabdi kepada kedua orang tua. Kecuali jika suatu
saat kelak salah seorang dari kedua orang tua memerintahkan untuk berbuat
syirik, maka kartu hak untuk ditaati seperti yang kita sebutkan tadi tidak bisa
dipergunakan. Dan dalam kontek inilah ayat di atas di selipkan. Supaya tidak
menimbulkan paham bolehnya mengkultuskan orang tua sampai ketingkat keharusan
mentaatinya sekalipun harus melanggar ajaran Allah SWT. Tidak, orang tua memang
harus dihormati dan ditaati, tetapi dalam hal pilihan antara mengikuti ajaran
Allah dan RasulNya atau ajakan orang tua kepada kemusyrikan, maka yang harus
diutamakan adalah tetap ajaran Allah dan RasulNya. Sikap Sa’ad ra. seperti yang
telah disebutkan tadi adalah cerminan yang menguatkan pemahaman ini.
Sikap
keharusan mengutamakan ajaran Allah kian terlihat ketika Allah berfirman pada
ayat selanjutnya: anisykurly waliwalidayka, di sini keharusan bersyukur kepada
Allah lebih di dahulukan penyebutannya. Kata anisykurly artinya “kau harus
bersyukur kepadaKu”. Perhatikan ketegasan ungkapan ini, mengapa li (untuk
Allah) didahulukan atas waliwalidaykum (untuk orang tuamua)? Allah adalah
pemberi nikmat hakiki dan apa yang diberikan orang tua kepada anaknya tidak
lebih dari karunia Allah kepadanya. Benar, orang tua telah sangat berjasa dan
berbuat baik kepada anaknya. Tetapi semua jasa baik itu adalah karena karunia
Allah. Seandainya Allah tidak menghendaki hal itu, tentu akan terjadi yang
sebaliknya. Bukankah sudah banyak buktinya bahwa seorang ibu membunuh cabang
bayinya. Seorang ayah membunuh anaknya dan lain sebagainya.
Dari
sini jelas bahwa sikap baik orang tua bagaimanapun adalah karena karunia Allah.
Oleh sebab itu Allah-lah Pemberi karunia yang hakiki. Dan Karena itu Ia harus
diutamakan di atas segala-galanya. Sampaipun harus melanggar keinginan orang
tua atau seorang Ibu yang telah mengandung dan menyusuinya selama beberapa
waktu tertentu sesuai dengan takdirNya.
Berapa
Lama Seorang Ibu Harus Mengandung Cabang Bayinya?
Pernyataan
ayat: hamalathu ummuhuu wahnan ‘alaa wahnin menggambarkan perjuangan seorang
ibu pada saat-saat mengandung sang cabang bayi. Para ulama Fiqh menetapkan
bahwa batas minimal waktu kehamilan adalah enam bulan. Ini berdasarkan ayat:
wahamluhuu wafishaluhuu tsalaatsuuna syahra (ibunya mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan) (QS. Al Ahqaf:15), dan ayat: wafishaaluhuu
fii ‘aamain (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun) (QS. Luqman:14). Dari kedua
ayat ini terlihat bahwa paling sedikitnya tenggang waktu kehamilan itu enam
bulan. Makna ini dikuatkan lagi oleh sebuah riwayat: bahwa seorang wanita
menikah lalu pada bulan keenam melahirkan, lalu dilaporkan ke Khalifah Utsman supaya
dirajam (dengan asumsi ia telah berbuat zina). Melihat kejadian itu Ibn Abbas
lalu menyebutkan kedua ayat di atas dan berkata: maka kehamilan itu minimalnya
enam bulan dan menyusuinya duapuluh empat bulan. Atas dasar itu Utsman tidak
jadi merajamnya. Setelah menyebutkan riwayat tersebut Ibnul Araby dalam
tafsirnya Ahkamul Qur’an mengisyaratkan bahwa Ali bin Abi Thalib mendukung
pendapat tersebut, lalu berkata: itu suatu kesimpulan hukum yang sangat tajam
dan mengagumkan.
Batas
Waktu Menyusui Berapa Lama?
Para
ahli fiqh menyebutkan bahwa batas waktu menyusui maksimal dua tahun. Dalillnya
ayat di atas: wafishaaluhuu fii ‘aamain. Fishal artinya fithaam (menyusui).
Diperkuat lagi dengan ayat: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al
Baqarah: 233). Pendapat ini didukung oleh Mayoritas ulama fiqh: Imam Malik,
Imam Sayafi’ie dan Imam Ahmad. Kecuali Imam Abu Hanifah yang melihat bahwa
batas maksimal menyusui adalah dua tahun setengah. Dalillnya: wahamluhuu
wafishaaluhuu tsalaatsuuna syahra. Di sini Abu Hanifa menafsirkan kata
wahamluhu bukan dengan masa kehamilan, melainkan hamluhuu ‘alal yadain min
ajlil irdha’ (memangku sang bayi untuk menyusuinya). Hanya saja pendapat ini
ditolak oleh kedua muridnya: Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad. Maka dengan ini
pendapat yang pertama tentu lebih kuat, tidak saja dari segi kualitas dalil
melainkan juga dukungan mayoritas termasuk Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad.
Penemuan
ilmu pengetatahuan moderen mengungkap rahasia kewajiabn menyusui ini lebih
dalam lagi. Bahwa air susu seorang ibu mengandung protein dan segala yang
dibutuhkan sang bayi dalam masa perkembangannya selama dua tahun. Tempratur
hangatnya pun sangat pas dengat tempartur sang bayi yang setiap saat selalu
berubah-ubah. Lebih dari itu dalam air susu ibu Allah bekalkan bahan yang
membantu kekebalan tubuh sang bayi dari berbagai penyakit, di mana semuanya ini
tidak akan pernah bisa diwakili dengan hanya minum susu buatan. Proses ini sebagaimana
ketentuan Al Qur’an di atas dibatasi sampai dua tahun. Setelah itu kondisi
tubuh sang bayi tidak mebutuhkan lagi bantuan air susu ibu dengan kandungannya
yang sangat mengagumkan itu. (lihat Dr. Abdul Hamid Diyab dkk, Maath thibbi fil
Qur’an, h.99-103)
Bolehkah
Mentaati Perintah Orang Tua Dalam Hal Yang Dilarang Allah?
Sebuah
kaidah yang sangat terkenal perlu ditekankan ketika harus menjawab pertanyaan
ini: la thaata limakhluuqin fii ma’shiyatil khaaliq (tidak boleh ditaati
seorang makhluq (siapapun dia) dalam hal berbuat maksiat kepada Sang Pencipta).
Para ulama ketika menafisrkan ayat di atas: “wainjaahadaaka alaa antusyrika bii
maalayasa laka bihi ilmun falaa tuti’huma” menguatkan hakikat ini. Mereka
menyimpulkan: Bila ternyata mentaati orang tua dalam melakukan kemusyrikan
hukumnya haram, maka mentaatinya untuk melakukan kemaksiatan apapun juga
hukumnya haram. Artinya sekalipun orang tua anda berupaya keras untuk
mempengaruhi agar anda tidak sholat, tidak ada pilihan bagi anda kecuali harus bertahan
pada ajaran Allah. Anda harus tetap tegar menjalani kewajiban anda, dengan
tidak menyakiti keduanya. Imam Al Qurthuby mengatakan: Wajibnya mentaati orang
tua bukan dalam perbuatan dosa, pun bukan dalam meninggalkan kewajiaban,
melainkan dalam mubahaat (yang dibolehkan). Pinjam istilah Ustadz Sayyid Quthub
bahwa ketika orang tua berupaya mengajak kepada kemusyrikan maka hilanglah pada
saat itu kewajiban untuk mentaatinya. (Fidzilalil Qur’an, vol.5, h.2788-2789)
Hakikat
keharusan mengutamakan perintah Allah di atas segala perintah telah dipahami
secara mendalam oleh para pendahulu (salaf) dari umat ini. Sikap Saad ra.
setidaknya membuktikan kenyataan tersebut. Ditambah lagi Abu Bakar ketika
pertama kali menyampaikan ceramah kepemimpinannya, ia menyatakan: “Wahai
manusia, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, ini bukan berarti saya
lebih baik dari kalian. Maka bila saya berbuat baik, bantulah, tetapi jika saya
berbuat salah, perbaiki. Taatilah selama saya mentaati Allah dalam menjalankan
amanah kalian, namun jika saya berbuat maksiat kepada Allah, maka hilanglah
kewajiban kalian untuk mentaati saya”.
Jika
Kedua Orang Tua Tidak Beriman, Wajibkah Kita Berbuat Baik
Ayat:
“washahibhuma fiddunya ma’ruufa” mengandung perintah untuk selalu berbuat baik
kepada kedua orang tua sekalipun keduanya tidak beriman. Bukan hanya itu,
bahkan sekalipun keduanya berusaha untuk mengajak kepada kemusyrikan, kewajiban
berbuat baik ini tetap harus dipertahankan. Sebatas mana perbuatan baik
tersebut? Sebatas tidak melanggar ajaran Allah dan tidak keluar dari wilayah
iman. Ketika salah satu dari keduanya sakit misalnya, anak wajib mebantunya,
melayani keperluannya dan lain sebgainya.
Bahkan
berdasarkan ayat “washahibhuma fiddunya ma’ruufa” tersebut, ada sebagian ulama
fiqh yang menyimpulkan bahwa seorang anak tidak berhak menuntut qishah jika
salah seorang dari keduanya melemparkan tuduhan zina (qadzaf). Pun juga
keduanya tidah berhak dipaksa atau didenda secara pidana jika suatu saat tidak
membayar hutang yang ditanggungnya. Sebab kewajiban seorang anak memberikan
nafkah atasnya.
Haruskah
Kita Mengikuti Jejak orang Saleh?
Ayat
di atas memerintahkan agar kita mengikuti jejak orang-orang saleh, seperti para
nabi, para sahabat, para tabi’in dan tabi’eittabien. Mereka itulah orang-orang
yang benar-benar mengikuti tuntutuan Allah. Karenanya mereka sukses dan
bahagia: wattabi’ sabiila man anaaba (dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku).
Anaaba
artinya raj’a ilaa syai’ (kembali kepada sesuatu). Para ahli tafsir mengatakan:
maksudnya adalah meninggalkan kemusyrikan dan kembali ke jalan Islam. Dengan
kata lain mereka kembali kepada Allah dengan kepribadian yang senantiasa
istiqamah menjalani kewajiban kehambaanNya kepada Allah. Mereka benar-benar
menyadari bahwa mereka kelak akan dikembalikan kepada Allah, untuk
mempertanggungjawabkan sekecil apapun yang telah merela lakukan selama hidup di
dunia. Perhatikan bunyi ayat selanjutnya: “Kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ketika
menafsirkan ayat ini Dr Wahbah Az Zuhaily mengatakan: anaaba dalam ayat
tersebut maksudnya kembali kepada Islam, dan mengikuti Rasulullah SAW, kembali
kepada Allah dengan bertauhid, bersikap ikhlas dalam menjalankan segala bentuk
ketaatan. Bukan mengikuti jalan kedua orangtua yang mengantarkan kepada
kemusyrikan. Perintah untuk mengikuti jejak orang-orang saleh ini –lanjut
wahbah- menunjukan bahwa ijma’ul ummah adalah benar. Wallhu a’lam bishshawab.
Sumber:
http://ikhwank3.blogspot.com/2012/04/kewajiban-menghormati-orang-tua.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar